Guru Sejati Dan Revolusioner

Guru Sejati dan Revolusioner

Oleh : Arif Luqman Nadhirin
 Setiap orang tentu setuju bila seorang guru wajib menjadi pola bagi siswa dan masyar Guru Sejati dan Revolusioner

Setiap orang tentu setuju bila seorang guru wajib menjadi pola bagi siswa dan masyarakat. Bukahkah guru itu digugu lan ditiru. Namun, apakah guru memadai menjadi teladan? Menurut penulis tidak. Mengapa? Karena guru terhitung wajib sejati dan revolusioner. Artinya, yang wajib disoroti di sini terhitung impuls guru di dalam mengemban kiprah mulianya.

Secara implist, bisa diambil kesimpulan ada “guru sejati” dan “guru aspal”. Guru sejati yakni meraka yang mobilisasi tugasnya bersama penuh semagat keikhlasan dan impuls revolusioner mendidik anak bangsa. Sedangkan guru aspal yakni mereka yang berorientasi pada “rupiah” belaka, mengajar tanpa mendidik, mencukupi presensi tanpa menjadi motivator sejati bagi siswa di sekolah.

kurun international layaknya ini bergotong-royong menuntut guru untuk menjadi pragmatis. Artinya, guru butuh kesejahteraan dan kemakmuran. Dan ihwal itu keliru satunya diperoleh dari tugasnya sebagai guru di instansi pendidikan. Di sisi lain timbulnya kebijakan sertifikasi makin usang mengakibatkan guru keliru kemauan di dalam mengajar. Padahal kebijakan tersebut selayaknya mengakibatkan guru lebih kreatif, inivatif, dan profesional di dalam mengemban misi mencerdaskan anak bangsa, bukan semata-mata mengejar rupiah. Oleh alasannya itu, ihwal ini wajib segera diluruskan.

Lalu bagai mana caranya? Caranya yakni dimulai dari menghambat timbulnya guru aspal. Karena apa berarti rupiah, kecuali guru tidak biasa mobilisasi kiprah sucinya. Maka sebagai insan pendidikan, ihwal itu wajib disikapi guru bersama arif. Salah satunya yakni bersama menghambat timbulnya guru aspal bersama lebih dari satu solusi dan trobosan yang efektif. Setidaknya ada lebih dari satu cara, antara lain:

Pertama, memperketat penerimaan guru, baik sekolah berstatus swasta maupun negeri, PNS atau GTT. Mengapa demikian? Karena, sepanjang ini tetap banyak orang masuk sekolah dan menjadi guru cuma “berbasis KKN”. Artinya, asalkan punyai kenalan pihak sekolah/dinas, asalkan punyai uang ratusan juta rupiah, maka susukan masuk menjadi guru terhitung mudah.

Kedua, mempertegas ketentuan dan kiteria atau syarat menjadi guru. Selama ini, penerimaan guru tidak ketat dan kriterianya tidak jelas. Kita ketahui bahwa setidaknya seorang guru wajib punyai empat kompetensi pendidikan, yaitu pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.

Ketiga, guru wajib linier, cocok jurusannya. Artinya, kecuali guru itu lulusan Pendidikan Agama Islam, maka yang diajar gura mata pelajran agama Islam pula. Masih sering kita jumpai fakta di lapangan, guru mengajar tidak cocok bersama bidangnya. Misalnya, lulusan Pendidikan Bahasa Indonesia mengajar bahan bhs Inggris, lulusan Pendidikan Biologi mengajar bahan Ekonomi, dan sebagainya.

Yang sadar dan utama yakni guru wajib mencukupi kualifikasi akademik dan beberapa syarat plus-plus. Artinya, sepanjang ini banyak guru yang pandai secara akademik, namun tidak bisa menjadi pendidik yang bisa memberi pemanis impuls dan impuls bagi siswanya. Inilah yang disebut bersama “kemampuan puls-plus” yang jarang dimiliki oleh guru. Bahkan banyak guru killer yang ditakuti siswanya, guru yang selamanya kenakan metode CBSA (Catat Buku Sampai Abis), guru yang mengajar ala kadarnya, banhkan guru yang centil/gatal kepada sisiwinya, dan tetap banyak umpama lainnya. Inilah yang wajib dibenahi, jangan hingga guru aspal merusak pendidikan di negara ini.

Guru Revolusioner
Apakah memadai bersama itu, guru menjadi penentu pendidkan di negara ini? Tentu tidak, yang tak kalah urgen yakni perlunya guru revolusioner yang mengajar penuh bersama impuls tinggi bersama impuls memajukan pendidikan Indonesia. Menurut Dian Marta Wijayanti, guru revolusioner punyai lebih dari satu ciri.

Pertama, beliau selamanya mengajar penuh rasa nrimo tanpa pamrih. Artinya, beliau selamanya butuh kesejahteraan, namun bukan itu tujuannya. Mengapa? Karena menjadi guru bukanlah tujuan, alasannya posisi guru semata-mata alat untuk berbuat baik lebih banyak kembali di dalam rangka memajukan pendidikan Indonesia yang tetap jauh dari harapan.

Kedua, punyai tingkat ketekunan yang tinggi. Artinya, bagai mana bisa saja siswa sanggup bersikp tekun kecuali gurunya tidak.

Ketiga, selamanya menjadi idaman siswa dan memberi pemanis impuls kepada siswa sehingga impuls di dalam mencari ilmu, baik di sekolah maupun di luar sekolah.

Keempat, bisa mengajarkan kepada siswa, bahwa hidup tidak semata-mata menjadi insan berilmu, sanggup namun terhitung beriman dan beramal.

Kelima, selamanya mengajarkan kepada siswa bahwa hidup bukan semata-mata “mejadi apa” (to be), namun yang lebih perlu yakni “berbuat apa” (to do).

Inilah yang wajib ditanamkan kepada siswa. Dengan demikian, muka pendidikan kita sanggup makin usang berseri-seri, kecuali para gurunya sejati dan revolusioner, bukan aspal.

Maka dari itu jadilah guru sejati dan revolusioner, bukan aspal. Bagaimana berdasarkan Anda?

Keterangan:
Tulisan ini terinspirasi dari Artikel berjudul “Guru Revolusioner”, karya Dian Marta Wijayanti (Suara Merdeka edisi 19/10/2013)

Kendal, 19 Oktober 2013 M



sumber artikel *
Related Posts